'Ketika Rasulullah berada di hadapan, ku pandangi pesonanya dari kaki hingga hujung kepala. Tahukah kalian apa yang menjelma? CINTA!!' (Abu Bakar As-Siddiq r.a)
Langkah kaki pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu di atas kepalanya. Sesetengah berbisik berkatalah Abu Bakar,
"Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua."
Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya sahabat karibnya ini perlahan sambil berkata,
"Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam iaitu Yang Maha Kuasa".
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali dia tidak khuatir keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, dia hanya lelaki biasa. Sedang untuk lelaki tampan yang kini dekat disampingnya, keselamatan diatas mati dan hidupnya.
Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang? Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama? Bagaimana dunia tanpa cahaya penyampai wahyu?
Sungguh, Baginda tidak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek tubuhnya serta menumpahkan darahnya. Sungguh Baginda tidak bimbang, runcing anak panah yang akan menghunjam setiap inci tubuhnya.
Baginda hanya takut Allah. Muhammad, ya Muhammad...
Mereka berdua berhadapan dan bersepakat untuk berjaga mengikut giliran. Keakraban mempesona itu bukanlah suatu kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap uratan di wajah indah itu dia perhatikan seksama. Aduhai betapa dia mencintai putera Abdullah.
Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah didepannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang dirasai. Hanya pada satu nama yang tersemat didalam dadanya, CINTA!
Kemudian Nabi Muhammad SAW melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tidak sama yang dapat mempesonakan selama dia hidup kecuali saat kepala Nabi yang 'Ummi' berbantalkan kedua pahanya.
Mata Rasulullah terpejam. Dengan berhati-hati seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar mengusap peluh di kening Rasulullah SAW. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan susuk cinta yang sedang beristirehat dipangkuannya. Sebuah rasa mengalun dalam hatinya
"Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya".
Nafas harum itu terhembus satu persatu yang menyapa di wajah Abu Bakar. Abu Bakar tersenyum sepenuh kalbu. Dia menatapnya lagi, tak bosan. Seketika wajahnya muram, dia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu purnama Madinah seperti memburu haiwan buruan.
Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Mutalib, yang begitu jujur dan amanah. Mendung di wajah Abu Bakar belum juga surut. Sebuah kuntum keazaman memekar di dasar hatinya, begitu semerbak.
Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada disampingmu untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapa pun mengganggumu.
Kesunyian tetap terasa. Gua itu begitu dingin. Abu Bakar menyandarkan tubuhnya didinding gua. Rasulullah SAW, masih tetap dalam lenanya.
Tiba-tiba sahaja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar melihatnya penuh waspada, ingin sekali dia menarik kedua kakinya untuk menjauhi dari binatang yang berbisa ini.
Namun, keinginan itu diendahkan dari benaknya, tak ingin dia mengganggu tidur lena Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin, dia tidak membangunkan kekasihnya itu. Abu Bakar menahan sakit, ketika itu ular mematuk pergelangan kakinya, tapak kakinya dibiarkan sahaja tidak bergerak sedikit pun. Ular itu meninggalkan mereka setelah beberapa seketika.
Dalam keheningan, sekujur tubuhnya terasa panas. Bias ular menjalar ke seluruh tubuhnya. Abu Bakar menangis dalam diam. Rasa sakit itu tidak dapat ditahan lagi.
Tanpa sengaja, air matanya menitis mengenai pipi Rasulullah SAW yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhuatiran terbukti, Rasulullah SAW terjaga dan menatapnya penuh dengan rasa ingin tahu.
"Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis kerana menyesal mengikuti perjalanan ini?" suara Rasulullah memenuhi ruang gua.
"Tentu saja tidak, saya redha dan ikhlas mengikutimu kemana jua," kata Abu Bakar yang masih dalam kesaakitan.
"Jadi mengapakah engkau menggugurkan air matamu?"
"Seekor ular baru sahaja mematukku, wahai putera Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat."
Rasulullah menatap Abu Bakar dengan penuh kehairanan, tidak berapa lama bibir manisnya bergerak,
"Mengapa engkau tidak menghindarinya?"
"Aku bimbang mengejutkan engkau dari lenamu," jawab Abu Bakar sendu.
Sebenarnya dia kini menyesal kerana tidak dapat menahan air matanya jatuh mengenai pipi Rasulullah SAW dan membuatnya terjaga. Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar sahaja. Selanjutnya mata al-mustafa berkabut dan bening air mata tergenang dipelupuknya.
Betapa indah sebuah ukhuwah.
"Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putera Abu Quhafah. Sesungguh Allah sebaik-baik pemberi balasan".
Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, al-mustafa memengang pergelangan kakinya yang dipatuk ular. Dengan menggunakan nama Allah Pencipta semesta alam, Nabi mengusap bekas patukan ular itu dengan air liurnya.
Maha suci Allah, sketika rasa sakit itu tiada lagi. Abu Bakar segera menarik kakinya kerana malu. Nabi masih memandangnya dengan rasa penuh kasih sayang.
"Bagaimana mungkin, mereka iaitu para kafir sanggup menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?" kata Abu Bakar.
Gua Thur kembali ditelan kegelapan malam. Kini giliran Abu Bakar beristirehat dan Rasulullah SAW pula berjaga. Abu Bakar menggelengkan kepala ketika Rasulullah menawarkan pangkuan Baginda.
"Tak ku rela diriku membebani pangkuan penuh abbarakah itu."
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Beliau adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Dari kembara sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar terhadap Al-Mustafa.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat peperangan atas bangsa Romawi di Yarmuk. Jenazahnya dikebumikan disebelah manusia yang paling dicintainya, iaitu Makan Rasulullah SAW.
Dia mencintai Nabinya melebihi diri sendiri.